Beranda Berita Ramadhan di Bandung Tempo Doeloe

Ramadhan di Bandung Tempo Doeloe

Bale Nyungcung Bandung (ilustrasi: Rahmat Natawigena)

Kota Bandung pada awal abad 20, menurut Prof. Veth masih merupakan sebuah desa kecil di pegunungan (een kleinne bergdessa). Tepian jalan masih diwarnai oleh rimbunnya pepohonan hijau, seperti di Pangeran Sumedanglarangweg (sekarang Jl. Otto Iskandardinata), Postweg (Jl. Asia Afrika), Banceuy, Pasar baru, dan Bragaweg. Jenis pohonnya pun bermacam-macam, antara alin asam, kenari, beringin, huni, tanjung, cucurutan, dan angsana yang teduh.

Lalu bagaimana situasi Bandung saat itu ketika menjelang bulan puasa dan lebaran? Buku “Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe)” yang ditulis oleh Haryoto Kunto menceritakan beberapa kebiasaan warga Bandung baheula ketika menyambut bulan puasa. Yuk, kita simak.

Baca juga: Masjid Agung Bandung dari Masa ke Masa

Bersih-bersih Kampung

Kala itu, setiap babakan atau kampung digambarkan memiliki “kabuyutan” (kuburan tua) sendiri-sendiri. Hal ini tak pelak membuat Bandung terasa menyeramkan, apalagi listrik belum masuk sampai ke kampung-kampung. Oleh sebab itu, sebulan sebelum memasuki bulan Ramadhan, warga kampung menata dan membersihkan area pekuburan secara bersama-sama sekaligus menziarahi makam para karuhun dan keluarga.

Pesta Lentera dan Lampion 

Menyambut bulan puasa di Bandung tempo doeloe, para warga kampung memasang lentera minyak di depan rumahnya masing-masing, serta menyalakan obor (lampu oncor) untuk menerangi jalan. Hal ini membuat Bandung menjadi lebih hidup karena diterangi oleh lentera-lentera minyak yang berkelap-kelip di malam hari. 

Menjelang “malem likuran“, yaitu hari ke-21 Ramadhan hingga lebaran, kerlap-kerlip lentera minyak ini bertambah meriah. Warga Bandung saat itu beramai-ramai membuat lampion beragam bentuk, seperti bintang, kapal api, persegi, damar kurung yang dihiasi dengan gambar berputar, buah-buahan, dan ikan-ikanan khas Priangan. Dalam pembuatan lampion ini, mereka saling bersaing dengan tetangga dalam hal bentuk, warna, ukuran, dan desainnya.

Munggahan

Memasuki bulan Ramadhan, dikatakan juga sebagai saat munggah (naik). Konon roh atau arwah leluhur yang sudah meninggal akan naik ke “atas”. Munggah juga berarti meningkatnya iman dan takwa saat akan menjalankan ibadah puasa. Bagi sebagian orang, munggahan juga berarti menggelar acara makan-makan (botram) bersama keluarga atau teman-teman di alam terbuka, seperti pinggiran sawah, ladang, kebun atau tempat wisata.

Di tahun 1935, beberapa orang tua membawa serta anak-anaknya untuk munggahan menjelang puasa ke Pasar Baru. Di situ setelah jam 15.00, para pedagang mulai menjajakan berbagai aneka makanan dan minuman. Ada gado-gado Bi Atjim, soto mie buatan orang Tegal, sate gule Bah Ojie, atau soto santan di seberang Toko Babah Kuya dan sebagainya. Setelah makan-makan, anak-anak dibawa berkeliling untuk melihat-lihat toko tas sekolah dan alat tulis, sepatu dan baju baru yang nantinya akan dibelikan apabila mereka tamat berpuasa.

Baca juga: Toko Jamu Babah Kuya Akulturasi Mengalir dengan Caranya Sendiri  

Ketika itu juga, orang-orang Jawa yang tinggal di Bandung menyiram tengah-tengah perempatan jalan dengan air kembang tujuh rupa. Hal ini dimaksudkan sebagai pengganti ziarah kubur ke makam leluhur di kampung halamannya. Pada malam menjelang puasa, mereka juga melemparkan kue apem yang sudah diselipkan kepingan uang sen, benggol atau lima picisan ke atap rumah.

Menguras Balong

Menyongsong bulan suci Ramadhan di Bandung tempo doeloe juga dimeriahkan dengan acara menguras kolam ikan (empang ikan atau balong). Di daerah Bandung selatan kala itu banyak terdapat kolam ikan yang dimiliki oleh para tuan tanah dan saudagar. Ikan-ikan hasil tangkapan tersebut lalu dijual di pasar ikan Cigereleng (di jalan Moh. Toha sekarang) untuk diolah sebagai santapan berbuka puasa atau diikutkan lomba lalu dilelang ke masyarakat.

Saat ini, tradisi menyambut bulan suci Ramadhan di kota Bandung masih diwarnai dengan acara makan-makan bersama (botram) di rumah makan atau di tempat keramaian lainnya.